Tri Dharma Dusun Bringin: Menyemai Kemuliaan Sekala Niskala

Card image cap

Di tengah arus modernisasi yang melaju pesat, nilai-nilai kearifan lokal seringkali tergerus dan terlupakan. Namun, tidak demikian halnya dengan masyarakat Dusun Bringin. Di dusun yang masih menjunjung tinggi adat dan spiritualitas ini, hidup bermasyarakat tidak hanya didasarkan pada hukum dan aturan formal semata, tetapi lebih dalam dari itu, dilandasi oleh sebuah filosofi luhur yang disebut Tri Dharma.

Tri Dharma Dusun Bringin merupakan tiga prinsip hidup utama yang menjadi pedoman setiap warga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketiga prinsip ini dijalankan dengan semangat “Wiwitan Kamulyan Sekala Niskala”, yang berarti kebajikan yang bersumber dari kesadaran lahiriah (sekala) maupun batiniah (niskala). Bukan hanya mengatur hubungan antar manusia, tetapi juga menciptakan keselarasan dengan alam dan semesta.


Wiwitan Kamulyan Sekala Niskala: Falsafah Inti

Wiwitan berasal dari kata “wiwit” yang berarti awal atau sumber. Kamulyan berarti kemuliaan, suatu keadaan yang agung, luhur, dan penuh kebijaksanaan. Sementara Sekala Niskala adalah istilah spiritual dalam budaya Jawa-Bali yang berarti dunia nyata dan tak kasat mata, fisik dan metafisik, lahir dan batin.

Dari sinilah masyarakat Dusun Bringin memahami bahwa kemuliaan hidup tidak hanya berasal dari apa yang tampak, tetapi juga dari sesuatu yang tidak tampak: niat, pikiran, dan kesadaran batin. Oleh sebab itu, Tri Dharma tidak hanya menjadi norma sosial, tetapi juga ajaran spiritual.


1. Pranata Ing Manah: Menata Hati dan Rasa

Prinsip pertama dari Tri Dharma adalah Pranata ing Manah, yang berarti menata hati. Hati atau manah dalam falsafah Jawa dianggap sebagai pusat dari segala niat dan kehendak. Hati yang jernih akan melahirkan sikap yang tenang, damai, dan tidak mudah terprovokasi. Oleh karena itu, masyarakat Dusun Bringin diajak untuk terus menjaga dan menata hatinya agar tetap selaras dengan nilai-nilai luhur.

Menata hati bukanlah perkara mudah. Diperlukan latihan batin yang terus-menerus untuk menyingkirkan rasa iri, dendam, amarah, dan kesombongan. Hati yang bersih akan mampu memancarkan kasih sayang, empati, dan pengertian terhadap sesama. Dalam kehidupan sosial, ini menjadi fondasi terciptanya kerukunan antarwarga, tolong-menolong, serta rasa tanggung jawab bersama.

Tradisi-tradisi seperti tirakatan, doa bersama, nyadran, dan sedekah bumi yang dilakukan warga Bringin bukan sekadar seremoni budaya, tetapi bentuk nyata dari upaya menata hati. Tradisi ini memperkuat hubungan spiritual warga dengan leluhur, bumi tempat berpijak, dan sesama makhluk hidup.


2. Prayogo Ing Pamikir: Kejujuran dalam Pikiran

Pilar kedua, Prayogo ing Pamikir, mengandung makna tentang pentingnya kejujuran dan ketulusan dalam berpikir. Pikiran yang bersih, jujur, dan tidak licik akan menghasilkan keputusan yang adil dan bijaksana. Sebaliknya, pikiran yang penuh tipu daya akan membawa kehancuran bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar.

Dalam konteks sosial, kejujuran berpikir berarti tidak menyebarkan kabar bohong, tidak menuduh tanpa bukti, serta tidak berprasangka buruk terhadap orang lain. Warga Dusun Bringin diajarkan untuk berpikir jernih sebelum berbicara atau bertindak, agar tidak melukai perasaan atau merugikan orang lain. Ini merupakan bentuk kedewasaan intelektual yang berpadu dengan integritas moral.

Prayogo ing pamikir juga menuntut keterbukaan dalam menyikapi perubahan. Walaupun berakar kuat pada adat dan tradisi, masyarakat Bringin tidak menutup diri terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran budaya, maka pengetahuan baru bisa menjadi pelengkap dan penyempurna hidup bersama.


3. Prasaja Ing Tumindak: Kesederhanaan dalam Perilaku

Pilar ketiga adalah Prasaja ing Tumindak, yang berarti kesederhanaan dalam bertindak dan bersikap. Kesederhanaan di sini bukan berarti hidup dalam kekurangan, tetapi lebih kepada sikap rendah hati, tidak berlebihan, dan tidak pamer dalam setiap tindakan.

Masyarakat Bringin meyakini bahwa kesederhanaan adalah bentuk dari kekayaan batin. Orang yang sederhana tidak akan merasa minder meski hidup dengan keterbatasan, dan tidak akan menjadi sombong meskipun memiliki kekuasaan atau harta. Ia tahu bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan, antara hak dan kewajiban.

Sikap prasaja juga tampak dalam pola kehidupan sosial warga Bringin. Gotong royong, kerja bakti, musyawarah, dan hidup saling membantu menjadi tradisi yang terus dijaga. Dalam berbagai upacara adat maupun kegiatan keagamaan, warga hadir bukan karena gengsi, tetapi karena kesadaran untuk ikut berpartisipasi menjaga harmoni bersama.


Tri Dharma sebagai Modal Sosial dan Spiritualitas

Tri Dharma tidak hanya menjadi pedoman moral dan etika, tetapi juga merupakan modal sosial yang sangat kuat. Di tengah masyarakat modern yang kerap dilanda individualisme dan persaingan, nilai-nilai seperti menata hati, jujur dalam berpikir, dan sederhana dalam bertindak justru menjadi kekuatan perekat sosial yang sangat dibutuhkan.

Lebih dari itu, Tri Dharma juga memiliki dimensi spiritualitas yang mendalam. Dalam pandangan masyarakat Bringin, hidup bukan hanya soal fisik, tetapi juga batin. Setiap tindakan yang dilakukan selalu berusaha selaras dengan kawruh (ilmu), kasunyatan (kenyataan hidup), dan kawaskitan (penghayatan spiritual). Dengan demikian, hidup tidak hanya menjadi sekadar rutinitas, tetapi proses menuju kamulyan sejati.


Menjaga Warisan Leluhur untuk Generasi Mendatang

Di era digital ini, menjaga warisan budaya seperti Tri Dharma tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, justru inilah saatnya nilai-nilai luhur tersebut diangkat, dikenalkan kepada generasi muda, dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan masa kini. Bukan sebagai romantisme masa lalu, tetapi sebagai sumber inspirasi yang hidup.

Dusun Bringin melalui kegiatan desa, pendidikan karakter di sekolah, serta pelibatan pemuda dalam upacara adat menjadi langkah konkret dalam menjaga dan mewariskan Tri Dharma. Dengan cara ini, nilai-nilai Wiwitan Kamulyan Sekala Niskala tidak akan pudar dimakan zaman, tetapi akan terus tumbuh dan memberi arah dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas.


Penutup

Tri Dharma Dusun Bringin: Pranata ing Manah, Prayogo ing Pamikir, Prasaja ing Tumindak bukan hanya slogan, tetapi napas kehidupan. Ketiganya merupakan jalan menuju kemuliaan hidup, baik dalam dimensi sekala (lahir) maupun niskala (batin). Semangat Wiwitan Kamulyan menjadi pendorong agar setiap insan mampu menjadi pribadi yang selaras dengan dirinya sendiri, sesama, dan alam semesta.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tantangan, ajaran Tri Dharma hadir sebagai oase moral dan spiritual. Dusun Bringin menunjukkan bahwa dengan kearifan lokal yang kuat, kita dapat membangun kehidupan yang lebih damai, harmonis, dan bermakna—tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan.