Dahana Murwakala: Kawula Angkat Sabda — Tafsir Kosmologis dan Kebudayaan

Card image cap

Abstrak

Tulisan ini membahas konsep Dahana Murwakala sebagai simbol kosmik dalam kebudayaan Jawa, dengan menelusuri makna dari kata, simbol, dan peranannya dalam relasi antara manusia, waktu, dan sabda. Diangkat pula peran “kawula” atau rakyat kecil sebagai entitas yang memiliki hak spiritual dan sosial untuk menyuarakan sabda. Pendekatan dilakukan melalui pembacaan simbolik, semiotik budaya, dan referensi pada naskah-naskah klasik seperti Serat Kalatidha, Serat Wulangreh, dan ajaran Tantrik-Hindu.


1. Etimologi dan Makna Kata

Dahana (Sanskerta: दहन dahana) berarti “api” atau “pembakaran”. Ia bukan sekadar unsur fisik, tetapi representasi dari transformasi spiritual. Dalam tradisi Veda dan Tantrik, api (Agni) adalah pengantar persembahan menuju dewa dan juga lambang dari tapas (asketisme).

Murwakala berasal dari dua kata: murwa (murwa, mula, awal) dan kala (waktu). Maka, Murwakala berarti “permulaan dari waktu”, atau secara simbolik: roh dari waktu purba.

Dalam Aksara Jawa, istilah ini dapat ditulis sebagai:

ꦢꦲꦤ ꦩꦸꦂꦮꦏꦭ
Dahana Murwakala

2. Kawula Angkat Sabda: Dari Pasif ke Aktif

Frasa “Kawula angkat sabda” menyimpan dimensi politis dan spiritual. Kawula berarti rakyat, abdi, atau subjek. Biasanya diposisikan pasif, menerima sabda dari raja atau penguasa. Namun ketika kawula angkat sabda, terjadi pembalikan struktur wacana: rakyat menjadi pelantang kebenaran.

Dalam Aksara Jawa:

ꦏꦮꦸꦭ ꦲꦁꦏꦠ꧀ ꦱꦧ꧀ꦝ
Kawula angkat sabda

Ini paralel dengan ajaran dalam Serat Wulangreh (Sri Pakubuwana IV):

“Wicaksana iku tandhaning kawula kang wus amardika.”
(Bijaksana adalah tanda seorang kawula yang telah merdeka.)

Sabda bukan lagi hak eksklusif elit, tetapi juga milik rakyat yang sadar.


3. Dahana Murwakala sebagai Arketipe Kosmologis

Dahana Murwakala dapat dibaca sebagai arketipe purba yang menandai siklus kehancuran dan kelahiran kembali (pralaya-prabhava). Dalam kosmologi Hindu-Jawa, waktu bersifat siklik. Kala bukan sekadar kronologis, tetapi kronotopos—ruang-waktu yang punya kehendak dan watak.

Dalam konteks pewayangan, Murwakala adalah makhluk besar yang muncul saat waktu kacau, membawa api besar yang menelan dunia. Namun ia juga pengemban sabda Dewata—dikirim bukan untuk menghancurkan semata, tapi membersihkan.

Kutipan dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita:

“Kala mangsa wus owah gingsir, lintang sumirat amung padhang rina...”
(Waktu telah berubah, bintang bersinar hanya di siang hari...)

Kalimat ini menggambarkan kekacauan zaman, di mana Dahana Murwakala hadir sebagai api penyadaran.


4. Sabda: Api dalam Kata

Sabda dalam filsafat Hindu disebut sebagai śabda-brahman—Tuhan sebagai suara. Dalam konteks Jawa, sabda memiliki dua sisi:

  • Sabda sebagai ucapan yang sakral dan berdaya cipta
  • Sabda sebagai tanggung jawab moral (bisa menjadi kutukan atau restu)

Ketika kawula angkat sabda, ia bukan sekadar berkata-kata. Ia menghidupkan sabda sebagai daya spiritual—api dalam kata yang bisa menyalakan kesadaran kolektif.


5. Penutup: Dahana Murwakala Sebagai Tafsir Zaman

Dahana Murwakala adalah tafsir akan zaman edan—zaman di mana kebenaran dibolak-balik, dan waktu seakan terpecah. Namun dari api kekacauan, muncul kekuatan penyucian.

Kawula angkat sabda bukan hanya retorika, melainkan deklarasi peradaban:

Bahwa suara rakyat, bila berakar pada kebenaran dan kesadaran kosmik, memiliki daya untuk mengubah arah sejarah.

Referensi

  • Serat Wulangreh (Pakubuwana IV)
  • Serat Kalatidha (Ranggawarsita)
  • Bhagavad Gītā, Bab 4:13 (Sabda sebagai dharma)
  • Zoetmulder, P.J. Kamus Jawa Kuno
  • Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa