Selamat datang di era paling makmur sepanjang sejarah umat manusia—makmur untuk mereka yang duduk di atas singgasana kekuasaan, tentu saja. Kini kita hidup dalam zaman keemasan di mana pemerintahan, borjuis, dan agamawan akhirnya sepakat bekerja sama. Bukan untuk memberantas kemiskinan, tentu. Tapi untuk memastikan kamu tetap rajin bekerja sambil tersenyum penuh syukur di bawah upah minimum dan langit yang makin panas.
Mari kita beri tepuk tangan untuk keberhasilan luar biasa ini: akhirnya kaum elite menemukan resep jitu untuk mengontrol massa tanpa perlu represi terang-terangan. Cukup dengan doa, cicilan, dan sedikit dalil—lihat, betapa jinaknya rakyat hari ini! Tak perlu tank dan senapan, cukup promo paylater dan kultum habis Maghrib.
Konsep “pasrah” kini telah berevolusi dari sikap spiritual menjadi sistem kontrol sosial. Dengan bantuan para agamawan modern, masyarakat diajarkan bahwa menuntut hak itu tanda kufur nikmat. Bahwa buruh yang menggugat gaji layak adalah orang-orang kurang bersyukur, dan demonstrasi adalah kegiatan yang hanya dilakukan oleh mereka yang imannya kurang stabil.
Mereka bilang, “Hidup ini sementara, fokuslah pada akhirat.” Tapi mereka sendiri membangun istana duniawi dengan pendingin udara, mobil tiga pintu, dan vila di Puncak. Katanya semua sudah ditentukan Tuhan, tapi mereka sendiri tak pernah lupa menentukan anggaran pribadi dan tender proyek. Kita diminta ridha, sementara mereka menandatangani kontrak.
Oh, betapa indahnya dunia ini jika semua orang mau ikhlas. Tidak usah berpikir soal keadilan sosial, karena itu hanya akan membuat hati panas. Biarlah para bos menaikkan harga dan menurunkan gaji; itu ladang pahala kita. Bukankah surga dijanjikan bagi mereka yang sabar?
Lembaga pendidikan pun tak ketinggalan. Anak-anak diajari menjadi pekerja yang baik, bukan manusia yang berpikir. Dari bangku SD hingga kuliah, yang dikejar adalah ranking, bukan pemahaman. Yang dipuji adalah kepatuhan, bukan kreativitas. Maka jadilah generasi yang jago mengerjakan soal, tapi bingung saat ditanya “apa makna hidupmu?”
Mereka dilatih untuk berkata “siap, bos” lebih cepat dari detak jantungnya sendiri. Diajari bahwa sukses itu adalah kerja keras tanpa banyak bertanya, meski hasil kerjanya dinikmati orang lain. Jangan tanya siapa pemilik pabrik atau kemana perginya keuntungan—itu bukan urusanmu, Nak. Tugasmu hanya bekerja dan bersyukur.
Syukurlah media massa telah bertransformasi dari anjing penjaga demokrasi menjadi boneka lucu yang siap menyanyikan lagu pengantar tidur. Tiap pagi kita disuguhi berita viral penuh kebahagiaan palsu: selebritas kawin, pejabat panen, harga cabai naik tapi “masih wajar.”
Tak usah khawatir soal korupsi, ketimpangan, atau kehancuran lingkungan. Fokuslah pada gosip artis, skor bola, dan ramalan zodiak. Kalau pun ada berita kelam, pasti akan dibungkus dengan kalimat menenangkan seperti “pemerintah tengah mengkaji” atau “akan ditindak tegas.”
Mari kita beri penghargaan kepada institusi keagamaan. Di saat rakyat lapar, mereka memberikan tausiah. Di saat buruh diperas, mereka mengajak sabar. Di saat petani tergusur, mereka menyarankan memperbanyak istighfar. Semuanya demi ketenangan sosial.
Kini agama bukan lagi kekuatan pembebas seperti di masa revolusi sosial. Agama telah menjadi rem tangan progresivitas. Tak sedikit tokohnya yang malah duduk di meja kekuasaan, merapalkan doa sambil menandatangani proyek mercusuar. Dakwah kini disponsori, dan isi khutbah telah disesuaikan agar tidak terlalu politis. Jangan sampai umat berpikir kritis—nanti tidak bisa dikendalikan.
Pemerintah kita—yang katanya dipilih oleh rakyat—ternyata lebih sayang investor daripada buruh. Mereka tidak tidur demi membuat kebijakan yang ramah modal. Mereka membabat hutan demi membangun pabrik, menyingkirkan warga demi jalan tol, dan mengganti sawah dengan properti mahal yang tak mampu dibeli petani.
Mereka membuat undang-undang yang katanya “cipta lapangan kerja,” padahal hanya menciptakan ruang lebih luas untuk eksploitasi. Para wakil rakyat pun dengan senang hati menyetujui, karena toh yang duduk di parlemen bukan tukang parkir atau buruh pabrik. Mereka tak tahu rasanya lembur 12 jam tanpa tambahan upah.
Untuk membuat buruh tetap senang, cukup beri seragam baru dan ajak jalan sehat sekali setahun. Tambahkan sedikit jargon motivasi, seperti “kerja keras adalah ibadah” atau “bersyukurlah masih punya pekerjaan.” Mereka akan lupa bahwa seumur hidup mereka hanya jadi roda yang berputar demi kekayaan orang lain.
Ketika ada yang mulai protes, cukup beri label “provokator.” Bila perlu, datangkan tokoh agama untuk meredam amarah. Katakan bahwa semua ini ujian dari Tuhan. Dan jika semua itu gagal, ya sudah, tinggal kirim aparat.
Inilah zaman keemasan. Semua elemen elit bersatu padu, bukan demi kebaikan bersama, tapi demi mempertahankan struktur yang membuat mereka tetap di atas. Mereka mengenakan jas, dasi, dan sorban—tapi misi mereka sama: membuatmu lupa bahwa kamu budak.
Mereka tak ingin kau marah. Mereka ingin kau sibuk berdoa, kerja lembur, dan merasa berdosa saat menuntut keadilan. Mereka ingin kau bangga meski hanya diberi remah-remah sistem. Dan mereka sangat berhasil.
Jadi mari kita akhiri semua omong kosong soal kesadaran kelas. Revolusi itu ribet. Lebih baik kita fokus cicilan motor, promo TikTok Shop, dan mencari jodoh lewat aplikasi. Kalau lelah, jangan marah. Berdoalah. Mungkin saja di surga nanti, kamu akhirnya dapat THR yang layak.
#SatireNation #BuruhPasrah #AgamaInvestorNegara
Artikel ini tidak mengandung fakta, hanya sarkasme. Kalau terasa pedas, mungkin karena kamu sedang lapar—atau tertampar.
17 Jul 2025 01:08
13 Jul 2025 07:10
09 Jul 2025 00:50
08 Jul 2025 01:16
01 Jul 2025 03:21
15 Jun 2025 01:15
13 Jun 2025 10:20