Sound Horeg: Meriah, tapi Jangan Kebablasan

Card image cap

Belakangan, suara dentuman sound horeg makin sering terdengar—bukan cuma di hajatan desa, tapi juga di kota, komplek perumahan, bahkan acara komunitas. Suaranya kencang, mengguncang, kadang sampai bikin genteng ikut bergetar.

Banyak yang bilang, ini bagian dari hiburan rakyat. Tradisi. Tapi di sisi lain, tak sedikit yang merasa terganggu. Bayi terbangun, orang tua susah tidur, siswa kesulitan belajar. Jadi, ini hiburan atau gangguan?


Ilmu dan Adat Sebenarnya Sepakat

Menurut WHO, suara bising di atas 70 desibel di malam hari bisa menyebabkan insomnia, stres, bahkan risiko penyakit jantung. Sementara di Indonesia, aturan resmi hanya membolehkan 45–55 desibel di lingkungan permukiman.

Tapi sebenarnya, orang Jawa sudah sejak dulu mengajarkan hal serupa. Lewat nilai tepa salira—tenggang rasa—masyarakat diajarkan untuk sadar:

“Yen aku seneng, ojo nganti liyan susah.”
(Kalau aku senang, jangan sampai orang lain jadi susah.)

Tradisi Tak Harus Ribut

Adat Jawa tidak anti hiburan. Tapi hiburan itu ada ukuran dan unggah-ungguh-nya. Kalau suara sampai bikin orang lain gelisah, itu bukan lagi budaya, tapi ketidaktahuan rasa.

"Sing pantes iku luwih becik tinimbang sing rame."
Yang pantas itu lebih baik daripada yang cuma heboh.

Penutup

Sound horeg sah-sah saja. Tapi bukan berarti harus memekakkan telinga semua orang. Karena hidup di tengah masyarakat itu butuh tata krama suara.

Kita bisa tetap meriah tanpa harus kehilangan rasa.

Karena adat yang sejati, bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling halus budinya.