(Membaca Ulang Kebijakan Lahan Terlantar lewat Kaca Mata Falsafah Jawa)
Ojo gumunan. Ojo kagetan. Ojo dumeh.
Tiga pitutur bijak ini sering diucapkan para sesepuh Jawa. Tapi sayangnya, dalam kisruh wacana “pengambilalihan lahan tidur oleh ormas,” para pemangku kebijakan justru terlihat gumunan, kagetan, sekaligus dumeh—seolah-olah tiba-tiba sadar bahwa 1,4 juta hektare tanah “nganggur” harus segera diambil negara dan dibagi-bagi ke organisasi tertentu.
Padahal, ajaran Jawa menekankan prinsip “memayu hayuning bawana” — menjaga harmoni, bukan membuat gaduh dengan kebijakan yang rawan disalahgunakan.
Dalam budaya Jawa, "adil" bukan hanya soal aturan legal, tapi soal rasa, soal kebijaksanaan. Tanah dalam pandangan Jawa bukan sekadar komoditas, tapi sumber penghidupan yang sakral (ibu bumi dipijak, anak putu diwarisi).
Lha kok negara justru grusa-grusu menetapkan tanah “tidak dimanfaatkan” hanya karena dua tahun tak diolah? Apa mereka ngerti proses orang usaha, tahapan perizinan, dan panjangnya jalan menuju hasil panen?
Jangan-jangan, dalih keadilan cuma tameng, karena ormas-ormas besar sudah pada pasang tampah — siap nangkep rejeki durian runtuh dari lahan tidur.
Ajaran Jawa mengenal "tata, titi, tentrem" — setiap keputusan harus punya dasar (tata), perhitungan matang (titi), dan hasil yang menenteramkan (tentrem).
Tapi apa keputusan ini sudah titi? Belum tentu.
Apa pemerintah tahu benar apakah lahan itu benar-benar “tidak dimanfaatkan”? Atau cuma mbalikna tafsir hukum agar sesuai kehendak?
Dalam filosofi Jawa, memaksakan kehendak atas nama hukum tanpa rasa disebut “nggegirisi” — menyeramkan. Karena dari situ tumbuh akar kezaliman, bukan kebaikan.
Ajaran Jawa selalu mengutamakan "sepi ing pamrih, rame ing gawe" — bekerja tanpa pamrih pribadi.
Tapi siapa yang akan percaya kalau ormas-ormas besar, alumni-alumni politik, dan koperasi yang dekat dengan elite akan bekerja tanpa pamrih?
Yang dikhawatirkan, tanah itu dadi bancaan — jadi rebutan antar kelompok yang merasa paling berjasa pada kekuasaan.
Rakyat kecil? Petani gurem? Seperti biasa: nggandhol angin, hanya jadi penonton yang kebagian sisa.
Dalam hukum adat Jawa, warisan adalah titipan leluhur. Jika belum digarap karena sedang proses, bukan berarti tak dianggap. Tapi dalam wacana ini, justru ada ancaman: “Kalau dua tahun tidak dimanfaatkan, akan diambil alih negara.”
Bayangkan kalau tanah warisan simbahmu dianggap “nganggur”, padahal kamu sedang berjuang mengurus izin. Lalu pemerintah datang, ngasih tiga surat peringatan, dan... wus, dialihkan ke organisasi lain.
Apa itu masih bisa disebut adil? Atau malah jadi bentuk baru dari “nggebuki rakyat nganggo legitimasi”?
Dalam pandangan Jawa, tanah bukan rebutan, tapi sawah penghidupan. Maka negara harusnya jadi pelindung, bukan perebut.
Kebijakan ini, bila diteruskan tanpa kontrol yang jelas, justru akan membuka pintu abuse of power berkedok reforma. Dan bila suara rakyat dianggap angin lalu, maka negeri ini akan jadi “negara among-among” — negara yang membiarkan ketidakadilan tumbuh dengan senyum manis.
Membagikan tanah atas nama keadilan boleh. Tapi tanpa welas asih dan kepekaan rasa, kebijakan itu hanya akan jadi rebutan kekuasaan yang sah secara hukum, tapi gagal secara batin.
Pemerintah boleh punya undang-undang. Tapi rakyat punya ingatan. Dan tanah, bagi orang Jawa, bukan sekadar lahan. Ia adalah bagian dari identitas, warisan, dan kelangsungan hidup.
Referensi:
Wacana Tanah Nganggur Diberikan ke Ormas, PCO: Supaya Tidak Ada Lahan Terlantar
Link: https://www.inilah.com/wacana-tanah-nganggur-diberikan-ke-ormas-pco-supaya-tidak-ada-lahan-terlantar
17 Jul 2025 01:08
13 Jul 2025 07:10
09 Jul 2025 00:50
08 Jul 2025 01:16
01 Jul 2025 03:21
15 Jun 2025 01:15
13 Jun 2025 10:20