Sebelum koperasi yang baru bergulir,

komplotan lama sudah lebih dulu bergerak.

Jatah dibagi-bagi tanpa musyawarah, tanpa rasa malu, tanpa rakyat.

Fenomena ini bukan hal baru, tapi justru itu yang menyedihkan.

Kita hidup di tanah yang kaya dengan nilai,

namun miskin dalam menanamkannya.

Ajaran Jawa: Sasmita Laku Urip

Dalam falsafah Jawa kuno, hidup adalah perjalanan spiritual.

Nilai-nilai seperti "tepa slira" (empati), "hamemayu hayuning bawana" (menjaga harmoni dunia), dan "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" (menang tanpa merendahkan) menjadi pedoman hidup sejati.

Namun hari ini, kita menyaksikan sebaliknya:

• Orang datang dengan bala, untuk menguasai.
• Menang dengan cara menjatuhkan.
• Saling sikut tanpa tepa slira.
• Dan koperasi, yang seharusnya menghidupkan rakyat, justru jadi alat dagang segelintir elit desa.

"Prakerti Becik Ora Tuwek Dewi"

Filosofi ini mengajarkan bahwa watak baik tidak akan tumbuh sendiri.

Ia harus ditanam, diajarkan, dan dijaga.

Tanpa pendidikan budi pekerti dan pengawasan masyarakat, koperasi hanya akan menjadi nama indah untuk proyek penuh intrik.

Dalam naskah kuno Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunegara IV menulis:

“Wruh ing ngelmu, tan kena dipun anggèng anggèng,

yen tan andhap asor, ora bakal dadi."

Memahami ilmu tidak cukup hanya dengan memilikinya.

Tanpa kerendahan hati dan niat yang bersih, ilmu itu tidak akan berguna.

Begitu juga dengan koperasi.

Tanpa andhap asor, tanpa niat melayani, ia hanya akan menjadi kendaraan baru untuk kerakusan lama.

Rakyat Tidak Tahu, Tapi Tidak Boleh Diam

Hari ini rakyat seolah tidak tahu. Tapi bukan berarti mereka bodoh.

Mereka diam, tapi bukan berarti mereka setuju.

Dan bila kesadaran mulai tumbuh, ajaran-ajaran lama itu bisa bangkit kembali.

Koperasi seharusnya menjunjung gotong royong, bukan gotong dompet.

Melayani, bukan menguasai.

Menjalin kebersamaan, bukan menyusun jatah.

Penutup:

Dalam konteks ajaran Jawa, segala bentuk kekuasaan dan kelicikan yang tidak berdasar pada keadilan akan runtuh oleh dirinya sendiri.

Karena dalam kebudayaan kita, “ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana.”

Harga diri seseorang—terlihat dari ucapannya.

Harga kepemimpinan—terlihat dari tindakannya.

Semoga koperasi desa kita bukan hanya lahir secara administratif,

tapi juga lahir dari kesadaran luhur, sebagaimana diajarkan para leluhur.