Aku Diam, Mbah: Menanti Tamparan untuk Bangkitnya Desa

Card image cap

Aku diam, Mbah—di sampingmu. Menanti tamparanmu untuk rapuhnya diriku.

Bukan karena takut, tapi karena lelah.

Lelah melihat tanah kelahiran kita menjadi panggung sandiwara, di mana janji ditebar seperti benih, tapi tak ada yang tumbuh.

Mbah,

Tahukah engkau, betapa desa hari ini berdiri di persimpangan?

Di satu sisi, anggaran dana desa mengalir seperti sungai deras—namun di sisi lain, sawah tetap kering, jalan tetap bopeng, dan anak-anak tetap menggenggam angan.


Aset Desa: Milik Bersama yang Terlupakan

Mari bicara soal aset desa, Mbah.

Lahan, balai, tanah kas, hingga alat-alat produktif—semuanya milik bersama. Tapi siapa yang tahu catatannya?

Apakah sudah tercatat di Sipades? Apakah masyarakat tahu siapa yang mengelola?

Atau sudah berubah jadi “tanah warisan tak bersurat” yang hanya segelintir tahu letak dan nilainya?

Transparansi bukan sekadar papan informasi di depan kantor desa.

Transparansi adalah ketika rakyat kecil bisa bertanya dan dijawab, bukan dicibir.

Ketika ibu-ibu PKK, karang taruna, dan petani tahu apa saja aset kita, dan bagaimana memanfaatkannya.


Manajemen Desa: Antara Sistem dan Nepotisme

Pernahkah desa dikelola seperti mengelola usaha?

Dengan target, laporan, dan evaluasi—bukan sekadar rutinitas dan formalitas.

Apakah pemimpin desa kita benar-benar pemimpin, atau sekadar “dijadikan”?

Apakah aparatur desa bekerja dengan SOP, atau hanya menjalankan instruksi dari yang paling berpengaruh?

Kita butuh manajemen yang berbasis data, bukan asumsi.

Kita butuh pemimpin yang berani dievaluasi, bukan hanya dipuji.


Kesejahteraan: Bukan Sekadar Bantuan

Kesejahteraan bukan soal berapa banyak sembako dibagi saat pandemi.

Tapi soal bagaimana petani bisa menjual hasil panen tanpa rugi.

Bagaimana anak muda bisa membuka usaha tanpa harus hijrah ke kota.

Bagaimana kakek-nenek kita bisa menikmati masa tua dengan damai, bukan dengan utang koperasi.

Desa sejahtera bukan desa yang penuh bantuan, tapi desa yang penuh keberdayaan.


Ekonomi Desa: Potensi yang Tidur

Apa yang terjadi dengan BUMDes, Mbah?

Katanya akan menjadi motor ekonomi desa, tapi nyatanya banyak yang mati suri, atau hidup segan mati tak mau.

Apakah karena SDM-nya tak siap?

Atau karena pemimpinnya hanya menjadikan BUMDes sebagai alat proyek musiman?

Ekonomi desa harus dibangun dari kearifan lokal

Pertanian, peternakan, pariwisata, kerajinan—semuanya bisa bernilai tinggi, asal dikelola dengan strategi dan bukan hanya seremonial.


Pelayanan Publik: Antara Formalitas dan Kemanusiaan

Ketika warga datang ke balai desa, mereka tak hanya membawa surat, tapi juga harap.

Jangan sambut mereka dengan wajah dingin dan jawaban “belum ada disposisi.”

Sambut mereka seperti keluarga—karena memang merekalah pemilik sejati desa.

Pelayanan publik bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal empati, etika, dan keadilan.


Penutup: Tamparan Itu Adalah Kesadaran

Mbah, tamparlah aku. Agar bangun dari kelam tidur panjang.

Karena desa bukan tempat untuk dilupakan.

Desa adalah akar dari bangsa—dan tanpa akar yang sehat, pohon pun akan tumbang.

Sudah waktunya desa bangkit bukan karena disuruh, tapi karena sadar: bahwa kita bisa berdaulat, jika kita bersatu, bekerja, dan jujur.