Sebuah Komedi Tragis Tentang Desa, Warga, dan Perangkat yang Kompak dalam Kebisuan
Selamat datang di desa kami tercinta—desa yang tenang, damai, adem, dan tentu saja... gelap.
Tapi bukan gelap karena PLN telat nyalain lampu. Bukan. Ini gelap level spiritual dan struktural. Gelap yang dipelihara bersama, diwariskan turun-temurun, dan disyukuri karena "yang penting gak ada ribut."
Karena di desa ini, kekacauan bukan ketika uang rakyat disalahgunakan.
Kekacauan itu katanya muncul… saat ada orang bertanya.
Iya, cukup bertanya.
Contoh: “Pak, anggaran Rp 150 juta buat kegiatan kemarin, kok output-nya cuma spanduk sama panggung bekas kawinan?”
Langsung dianggap pengacau, pembangkang, dan ancaman demokrasi desa.
Dari sinilah kita sadar: bertanya itu lebih berbahaya dari mencuri.
Mari kita bicara soal rakyat.
Di desa, rakyat itu dianggap seperti kambing. Harus digiring, dikasih rumput, dan jangan dibiarkan mikir terlalu banyak.
Mau ikut musyawarah? Boleh.
Asal tidak usah terlalu aktif. Duduk, dengarkan, tepuk tangan saat ditanya: “Setuju?”
Itu baru warga teladan.
Dan perangkat desa? Ah, mereka lebih dari sekadar abdi negara. Mereka adalah seniman keheningan.
Mampu menciptakan harmoni dengan cara tidak menjawab pertanyaan, tidak menyampaikan laporan, dan tidak muncul saat dibutuhkan. Tapi luar biasa tanggap saat ada bantuan datang—tiba-tiba muncul seperti jin dari botol.
Surat pertanggungjawaban dana? Lengkap.
Meskipun kadang realitanya tidak setebal kuitansinya.
Tapi siapa peduli? Yang penting kertasnya rapi.
Laporan fiktif? Ah, itu bukan korupsi. Itu kreativitas lokal.
Dan warga pun sebagian besar... ya gitu-gitu aja.
Mereka tidak bodoh. Tapi sudah terlalu sering diberi pelajaran bahwa kritis itu bahaya.
Apalagi kalau sedang musim bantuan. Lebih baik diam, siapa tahu nanti masuk daftar penerima.
Lebih baik pura-pura tidak tahu, daripada jadi bahan gunjingan.
Karena hidup dalam gelap itu lebih sederhana.
Tidak perlu buka data.
Tidak perlu buka suara.
Cukup buka tangan saat amplop dibagikan.
Lucunya, kalau ada yang mencoba menyalakan terang—misal, bikin forum diskusi, atau posting soal APBDes di media sosial—langsung dibilang “sok-sokan, belum jadi perangkat udah banyak gaya.”
Padahal mungkin dia cuma ingin tahu: uang rakyat larinya ke mana.
Tapi tenang, nanti ada penjelasan:
“Sudah kami pertanggungjawabkan secara internal.”
Internal mana?
Ya internal hati nurani... kalau masih ada.
Jadi, jangan heran kalau desa tetap gelap.
Karena terang itu mahal.
Butuh kejujuran, butuh keberanian, dan yang paling langka: butuh warga yang gak takut dibenci.
Tapi ya sudahlah, gelap pun tidak apa-apa.
Toh, di gelap kita bisa menyembunyikan banyak hal:
Anggaran ngaco, proyek asal jadi, dan moral yang sudah sejak lama pensiun dini.
Tutup dengan satu harapan:
Semoga suatu hari nanti, kita tidak hanya menyalahkan siapa yang mematikan lampu,
tapi mulai bertanya:
Kenapa kita semua begitu betah tinggal dalam gelapnya?
Dan kalau ada satu lilin menyala,
jangan langsung ditiup rame-rame.
Karena bisa jadi itu satu-satunya cahaya yang masih jujur.
17 Jul 2025 01:08
13 Jul 2025 07:10
09 Jul 2025 00:50
08 Jul 2025 01:16
01 Jul 2025 03:21
15 Jun 2025 01:15
13 Jun 2025 10:20