Aset Desa: Harta Karun Terlupakan yang Entah Milik Siapa

Card image cap

Selamat datang di negeri dongeng bernama Desa. Di sinilah terdapat kekayaan tak ternilai—bukan emas, bukan permata, tapi sesuatu yang lebih langka: aset desa yang tidak tahu milik siapa.

Jangan salah, aset desa itu banyak. Sangat banyak. Ada tanah lapang bekas lapangan voli yang sekarang jadi kandang kambing, sepeda motor dinas yang entah sejak kapan berubah fungsi jadi kendaraan antar galon, hingga gedung balai desa yang lebih sering dipakai buat hajatan daripada musyawarah. Semua lengkap. Kecuali satu hal: datanya.


Misteri Hilangnya Data Aset: Kasus Sherlock Holmes Terbaru

Pernahkah Anda mendengar kisah tragis tanah kas desa yang tiba-tiba berubah status jadi tanah pribadi? Atau sepeda motor dinas yang dipakai mantan perangkat desa tapi entah bagaimana bisa lolos dari pendataan? Nah, di sinilah Sherlock Holmes perlu turun tangan. Karena bahkan Google Maps pun bingung mendeteksi lokasi dan status aset desa kita.

Lucunya, kalau ditanya, semua bilang "Itu aset desa." Tapi begitu ditelusuri, "Loh, kok nggak ada di buku inventaris, ya?" Ajaib. Seperti sulap. Abrakadabra, hilanglah data, muncul tanah warisan yang entah sejak kapan diwariskan oleh nenek moyang yang tak tercatat dalam sejarah.


Musyawarah Desa atau Ajang Lupa Bersama?

Setiap tahun, musyawarah desa digelar. Sungguh mulia. Semua hadir: kepala desa, BPD, tokoh masyarakat, dan tentu saja, nasi kotak. Tapi sayangnya, pembahasan soal aset desa biasanya menguap seperti embun pagi. Karena memang, tidak ada yang tahu pasti apa saja aset desanya.

Saat diminta laporan aset, biasanya yang muncul hanya:

  • Gedung balai desa ✅
  • Laptop rusak sejak 2012 ✅
  • Kursi plastik 14 biji, 3 sudah patah ✅

Tanah? Bangunan? Kendaraan? “Wah, itu mah belum sempat didata, Pak. Soalnya waktu itu...” (masukkan alasan random di sini: ganti perangkat desa, banjir, listrik mati, atau WiFi lemot).


Siapa Untung dari Kekacauan Ini?

Oh jelas, bukan warga. Tapi mungkin:

  • Oknum oportunis yang tahu bahwa tanah kosong tak bertuan itu bisa disertifikatkan atas nama pribadi.
  • Pihak-pihak yang "berperan aktif" menjaga agar aset tetap tidak terdokumentasi, agar sewaktu-waktu bisa "disulap".
  • Mantan pejabat desa yang masih pakai motor dinas dan enggan mengembalikannya karena katanya “sudah sayang.”

Tentu, semuanya dilakukan demi kebersamaan dan semangat gotong royong. Hanya saja, gotong royong yang dimaksud adalah "kita gotong, kamu yang nyongklong."


Solusi? Tentu Ada. Tapi Siapa yang Mau Repot?

Sebenarnya, sangat mudah menyelesaikan masalah ini. Tinggal:

  1. Lakukan pendataan ulang semua aset desa secara menyeluruh.
  2. Libatkan warga dan lembaga independen untuk validasi.
  3. Gunakan teknologi seperti GIS dan sistem inventaris berbasis web.
  4. Laporkan ke publik secara transparan dan berkala.
  5. Oh ya, satu lagi: niat.

Tapi ya itu tadi. Niat memang barang mahal, apalagi kalau tidak ada SPJ-nya.


Penutup yang Tidak Pernah Ditutup

Jadi, kalau Anda bertanya, "Kenapa aset desa tidak terdata dengan rapi?", jawaban paling jujur mungkin adalah: karena tidak semua orang ingin aset itu terlihat. Karena semakin tidak terlihat, semakin fleksibel penggunaannya. Seperti ninja, tapi versi lahan kosong.

Inilah kisah kita: desa yang kaya akan aset, tapi miskin dokumentasi. Harta karun yang ada di depan mata, tapi tak seorang pun berani mengakuinya.

Kalau Anda membaca ini dan merasa geli, tertawa, atau malah jengkel—itu artinya Anda peduli.

Dan kalau tidak? Yah, mungkin Anda adalah bagian dari sistemnya.


Rahayu, Rahayu, Rahayu