Mari kita mulai dari sesuatu yang sakral dan luhur: Spirit Jiwa Kesatria Jawa. Ini bukan sembarang jiwa, bukan jiwa yang datang saat sinyal jelek dan bikin WA pending. Ini jiwa yang katanya penuh dengan kebijaksanaan, keberanian, dan kesabaran—konon, seperti Gandalf-nya Tanah Jawa. Tapi realitanya? Lebih sering kita jumpai kesatria yang galak di kolom komentar TikTok, tapi ketemu langsung, minta foto sambil gemeteran.
Kesatria Jawa zaman dulu dikenal sebagai manusia paripurna. Bangun pagi sebelum ayam, nyapu halaman, ngelus keris, dan puasa Senin-Kamis bukan karena ikut challenge diet keto. Tapi hari ini? Spirit kesatria mungkin masih hidup… sayangnya dia ngumpet di balik akun anonim. Yang dulu gagah berani melawan penjajah, sekarang berani juga… berani pinjam duit gak dibalikin. Salut!
Kesatria Jawa itu punya prinsip. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono.” Artinya: kamu boleh ngaco, tapi jangan terlalu ngaco. Filosofi ini begitu dalam, saking dalamnya, banyak orang tenggelam di dalamnya dan gak muncul-muncul sampai sekarang. Termasuk mereka yang ngaku-ngaku keturunan Majapahit, padahal KTP-nya Kelurahan Majasem RW 7.
Kesatria juga menjunjung tinggi tepa selira alias tenggang rasa. Tapi coba deh lihat jalanan pas jam pulang kerja. Seruduk kanan kiri, klakson pake feeling, dan semua pengendara merasa paling benar. Mungkin kita perlu kesatria baru: Kesatria Lalu Lintas, lengkap dengan pedang berupa peluit dan tameng berupa e-Tilang.
Lanjut ke bagian paling keramat: Pancasila Sakti. Ini bukan Pancasila biasa, ini versi upgrade, edisi ultra pro max dengan embel-embel sakti. Kalau beneran sakti, harusnya bisa ngilangin korupsi cuma dengan mengucapkan “Sila keempat, ACTIVATE!” Tapi realita berkata lain: sila-sila Pancasila sering diucapkan dengan khidmat di upacara, tapi habis itu langsung dilanggar dengan semangat gotong-royong menyalahgunakan jabatan.
Katanya, Pancasila adalah pandangan hidup bangsa. Tapi kadang yang lebih hidup justru pandangan hidup netizen—apa aja bisa dijadiin bahan cancel culture. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa? Cukup diucap, tapi pas antre bantuan sosial, saling sikut tanpa dosa. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Mungkin maksudnya adil itu kalau dapat BLT dobel dan beradab itu kalau nyela pakai bahasa sopan, walaupun tetap nyakitin.
Salah satu keajaiban dalam Pancasila adalah semangat gotong royong. Dulu, satu kampung bikin rumah bareng, sekarang satu grup WA bikin gosip bareng. Gotong royong zaman now berarti share link donasi tapi gak pernah isi nominal, cuma “ikut bantu doa ya”. Padahal pulsa aman, Shopee check out tiap malam, dan langganan Netflix 4 layar.
Lalu ada sila Persatuan Indonesia. Sebuah sila yang menuntut kita untuk bersatu. Tapi kenyataannya, kita bersatu hanya kalau sedang menghujat artis yang baru nikah atau nonton pertandingan bola. Selebihnya, beda pilihan politik dikit, langsung unfriend satu keluarga.
Kalau zaman dulu kesatria identik dengan pakaian adat, tombak, dan keris, maka kesatria zaman sekarang cukup pakai hoodie, bawa laptop, dan ngopi sambil nulis caption bijak di Instagram. “Tetap sabar walau dikhianati.” Padahal maksudnya: “Tetap sabar walau diskonan sepatu habis.”
Tapi bukan berarti semuanya suram. Ada juga jiwa-jiwa kesatria masa kini yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai: membantu sesama (asal bisa diviralkan), kerja keras (asal WFH dan ada kopi), dan cinta tanah air (asal ada sinyal dan WiFi gratis). Memang kesatria evolusi, bukan revolusi.
Coba cek dinding kelas atau kantor desa. Pasti ada poster Pancasila gede, lengkap dengan lambang Garuda dan wajah Soekarno tersenyum di pojok. Tapi seberapa sering nilai-nilai itu benar-benar dipraktikkan?
Misalnya, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kalimat yang indah, puitis, cocok jadi lirik lagu indie. Tapi kenyataannya? Yang kaya makin banyak followers, yang miskin masih nunggu subsidi. Keadilan sosial sekarang kayak kuota: kadang ada, kadang zonk.
Pancasila itu katanya sakti. Tapi mungkin kita lupa mencet tombol ON-nya. Kayak aplikasi yang udah di-install tapi gak pernah dibuka. Kita terlalu sibuk bikin konten motivasi, padahal realita hidup masih ditanggung cicilan dan janji manis caleg yang sekarang entah ke mana.
Tapi, jangan salah. Pancasila tetap punya tempat di hati—walau bukan di dompet. Ia jadi alasan kita gak sepenuhnya rusak. Masih ada harapan, selama masih ada orang yang percaya bahwa hidup bukan cuma soal cuan, tapi juga tentang nilai. Nilai-nilai yang, ya… kadang dibaca pas upacara dan dilupakan pas diskonan.
Kesatria Jawa dan Pancasila Sakti sejatinya hidup di dalam diri kita—ya, meskipun kadang harus digali dulu lewat meditasi atau login e-KTP. Mereka bukan sekadar romantisme masa lalu, tapi pengingat bahwa di tengah dunia penuh drama dan konten viral, masih ada ruang buat kebijaksanaan dan integritas.
Jadi, apakah kamu termasuk Kesatria Jawa modern? Kalau kamu masih bantu orang tua, gak korupsi, dan gak cuma posting quote bijak tanpa praktik… maka selamat! Kamu 10% manusia langka yang harus dilindungi LSM dan UNESCO.
Karena di zaman sekarang, menjadi kesatria bukan soal pakai baju adat dan nyunggi keris. Tapi soal gak buang sampah sembarangan, nyalain lampu sein saat belok, dan gak nyebar hoaks biar dapat likes. Sesederhana dan serumit itu.
Pancasila Sakti? Masih sakti kok. Cuma butuh sinyal yang lebih kuat… dan mungkin, sedikit upgrade firmware moral kita.
Salam Sakti, Salam Santuy, dan Salam Satu Keris!
17 Jul 2025 01:08
13 Jul 2025 07:10
09 Jul 2025 00:50
08 Jul 2025 01:16
01 Jul 2025 03:21
15 Jun 2025 01:15
13 Jun 2025 10:20