Cerita dari Warung Kopi Mbok Yayah: Tentang Warga, Hak, dan Kuasa

Card image cap

Pagi-pagi di warung kopi Mbok Yayah, aroma kopi item dan tempe mendoan sudah bersahut-sahutan. Seperti biasa, pelanggan tetap sudah nongkrong. Ada Pakde Slamet, Kang Udin, Mas Tri, dan tak ketinggalan Mbah Warto, yang katanya dulunya mantan perangkat desa, tapi pensiun karena kalah debat sama istri.

“Negara ini rusak dari desanya, le,” kata Mbah Warto sambil nyeruput kopi.
“Masak aku diundang musyawarah warga, disuruh bawa berkas dan fotokopi KTP, padahal cuma bahas got!”

Semua ketawa.

Kang Udin nyeletuk, “Lha itu Mas RT sekarang, tiap ada bantuan selalu bilang ‘nanti diurus, sabar’. Lah sabarnya udah dua musim tanam, Mas!”


Cerita pun berlanjut ke topik yang serius tapi dibungkus lucu: hak dan kuasa.

Mbah Warto mulai menceritakan tentang falsafah Wiwitan Kamulyan. Katanya, di tanah Jawa ini, hidup itu dimulai dari niat baik: niat mulya. Kalau jadi warga, niatnya harus ikut guyub. Kalau jadi pemimpin, niatnya kudu ngladeni, bukan nglumpukne.

“Lha wong jabatan kuwi kayak ngangkat ember bocor. Penuh tanggung jawab, tapi gak pernah penuh pujian,” kata Mbah Warto bijak sambil ngupil pelan.

Pakde Slamet nimpali, “Yo bener, tapi sekarang banyak yang mikir, jabatan itu sing penting gaya. Lha kades anyar kita, baru sebulan dilantik udah beli mobil. Katanya dari ‘tabungan lama’. Lah tabungan siapa?”

Kopinya hampir tumpah karena mereka semua ngakak.


Mas Tri yang paling muda mencoba nanya serius.

“Lha kalau rakyat, haknya apa sih, Mbah?”

Mbah Warto jawab sambil mainin gigi palsunya, “Rakyat itu haknya banyak, Le. Dapat informasi, dapat layanan, dapat perlindungan. Tapi ya gak bisa cuma nuntut hak doang. Wajibannya juga kudu dijalanin. Gotong royong, bayar iuran, jaga keamanan. Masa minta bantuan terus tapi pos ronda bolong tiga malam.”

Kang Udin nyeletuk lagi, “Iya, iya, kemarin aku jagain pos ronda sendirian, yang lain bilang lagi ‘dinas luar kota’. Luar kota mana, lha rumahnya cuma beda RT!”


Lalu masuk ke urusan niskala.

Mas Tri bertanya lagi, “Maksudnya sekala-niskala itu opo sih, Mbah?”

“Sekala itu yang kelihatan: jalan diperbaiki, bantuan disalurkan, baliho dipasang. Niskala itu niat dan rasa: tulus opo ora, jujur opo mung akting. Nek niatmu bening, uripmu berkah. Nek niatmu mung ndas-ndasan, ya uripmu ra ndas.”

Pakde Slamet menyambung, “Berarti nek rakyat demo soal jalan rusak tapi tiap kali kerja bakti ngilang, itu niskala-nya busuk juga?”

“Yo ngono kuwi!” kata Mbah Warto.


Sesi bergeser ke kisah lucu: waktu Kang Udin nyalon RT.

“Waktu aku nyalon RT, sloganku keren: ‘RT bukan Raja Tega, tapi Rukun Tetangga’. Tapi ternyata kalah suara. Soale lawanku bagi-bagi minyak goreng!”

Semua ngakak lagi.

Mbah Warto nyeletuk, “Itu bukan kalah suara, Din. Tapi kalah strategi sekala-niskala. Awakmu niat tulus, tapi gak pinter nyusun taktik duniawi.”


Obrolan makin dalam: soal kuasa dan warga.

Mbah Warto bilang, “Dulu waktu aku jadi Sekdes, aku anggap semua warga itu kayak keluarga. Tapi ya tetep, kalo udah urusan bantuan, semua bisa berubah jadi detektif. Ada yang nyelidikin aku beli HP baru, dikira dari dana desa!”

Mas Tri nyeletuk, “Lha sekarang banyak warga malah mikir, pemimpin itu kudu kaya, biar gak korupsi.”

Pakde Slamet nyeletuk balik, “Wah, itu logika ngawur, Le. Nek mikirnya gitu, maling yang udah kaya juga gak bakal nyopet lagi dong!”


Sampai akhirnya obrolan ditutup dengan kesimpulan ala warung kopi.

Mbah Warto berdiri sambil nyiapin rokok klembaknya.

“Desa itu kaya sawah. Warga itu petani. Pemimpin itu lurahnya sawah. Kalau semua kerja bareng, niatnya tulus, hasilnya pasti melimpah. Tapi kalau petani males, lurah sawahnya cuma ngatur-ngatur doang, yo panen cuma isinya rumput!”

Semua terdiam sebentar, lalu Mas Tri nyeletuk,

“Mbah, ini kopi tadi bayar to utang?”

Dan begitulah cerita pagi itu...

Di warung kopi yang sederhana, tempat filosofi besar sering lahir dari mulut yang tak tamat sarjana. Tapi justru dari sana, kita paham: bahwa warga dan pemimpin bukan dua sisi yang berlawanan, tapi satu tubuh yang harus saling menguatkan—dalam sekala dan niskala.

Dan tentu saja, semua obrolan ditutup dengan satu pertanyaan sakral:

“Besok ngopi lagi, to?”