Pernahkah kita bertanya, apa yang sebenarnya sedang kita bangun hari ini? Gedung tinggi, jalan tol, bandara, atau mungkin sistem teknologi yang canggih? Tapi benarkah, semua itu cukup untuk membentuk masyarakat yang utuh dan saling percaya?
Sekilas, kepercayaan tampak sederhana—sebuah rasa, atau barangkali anggapan bahwa orang lain akan berlaku jujur, konsisten, dan tidak menyakiti. Namun, dalam kenyataan yang lebih dalam dan mungkin lebih rumit, kepercayaan adalah sesuatu yang terus kita pertanyakan. Apalagi di tengah masyarakat yang mudah retak karena informasi simpang siur, pemimpin yang tidak konsisten, dan relasi sosial yang makin dangkal.
Di titik ini, kita mungkin perlu menengok kembali ke dalam. Bukan untuk romantisasi masa lalu, tapi untuk mencari fondasi yang selama ini mungkin kita abaikan. Salah satu kerangka berpikir yang bisa diajukan adalah filosofi yang dikenal dalam tradisi Jawa dan Bali: Wiwitan Kamulyan Sekala Niskala.
Sebelum membicarakan “membangun” kepercayaan, pertanyaannya: apakah kita tahu kepercayaan macam apa yang ingin kita bangun? Apakah kepercayaan itu hanya relasi antara individu—misalnya antara rakyat dan pemimpin, atau sesama warga? Atau ada lapisan lain yang selama ini luput dibicarakan?
Filosofi Sekala-Niskala mengajukan bahwa realitas tidak pernah sepenuhnya kasat mata. Ada yang bisa dilihat dan diukur (sekala), dan ada yang tak terlihat, tapi tetap nyata dalam pengalaman manusia (niskala). Maka, ketika kepercayaan hanya dibahas dalam ranah rasional atau logis, kita sedang mengabaikan setengah dari realitas itu sendiri.
Sementara itu, Wiwitan dan Kamulyan memberi kita arah. Wiwitan berarti mula atau akar; kamulyan adalah bentuk tertinggi dari harmoni hidup. Dalam pengertian ini, membangun kepercayaan bukan sekadar soal teknik komunikasi atau transparansi lembaga, melainkan proses spiritual dan sosial yang menyentuh akarnya manusia.
Mari kita bayangkan ini: sebuah kota dengan fasilitas lengkap, pelayanan cepat, dan sistem digital yang canggih. Tapi di dalamnya, warga saling curiga. Pemimpinnya pandai bicara tapi sulit dipercaya. Lembaganya rapi di atas kertas, tapi tidak menyentuh rasa batin masyarakat.
Apa yang salah? Bukankah semua infrastruktur sudah dibangun?
Mungkin masalahnya bukan pada wujud luar, tetapi apa yang tak dibangun. Kita terlalu sibuk menciptakan “benda” tapi lupa menciptakan “ikatan.” Lalu, apakah kepercayaan bisa dibangun seperti membangun jalan atau gedung?
Pertanyaan ini membawa kita pada gagasan infrastruktur kepercayaan—bukan sekadar institusi, tetapi jejaring nilai dan praktik yang membuat orang mampu merasa aman, saling bergantung, dan punya ikatan makna. Namun, bisakah infrastruktur ini dibentuk tanpa menyentuh lapisan niskala?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering hanya mempercayai apa yang bisa dilihat: laporan keuangan, hasil survei, performa kinerja. Tapi dalam budaya Nusantara lama, itu hanya setengah cerita.
Ada bagian tak terlihat: niat, getaran batin, dan relasi dengan leluhur serta alam. Di sinilah niskala bekerja. Ia mungkin tidak bisa dihitung, tapi bisa dirasakan. Dan celakanya, dunia modern sering menghapus dimensi ini, seolah ia tidak penting.
Namun, bagaimana jika kita justru mencoba membangun kepercayaan dengan mengakui keberadaan niskala? Bahwa untuk benar-benar percaya pada orang lain atau sistem, kita perlu percaya dulu bahwa kehidupan tidak sepenuhnya bisa dirumuskan dengan logika tunggal.
Kita menyaksikan sendiri: satu hoaks bisa memecah komunitas. Satu kebijakan tanpa partisipasi bisa menimbulkan apatisme. Satu tokoh publik yang ingkar bisa memupus seluruh harapan kolektif.
Ini bukan hanya masalah komunikasi. Ini adalah krisis kepercayaan yang sangat dalam. Dan ketika kepercayaan sudah retak, tidak ada kebijakan yang cukup baik untuk memperbaikinya secara instan. Kita seperti mencoba menanam pohon di tanah yang sudah kehilangan unsur haranya.
Di titik ini, kita bertanya lagi: apa fondasi kepercayaan yang tahan terhadap waktu dan gejolak? Filosofi Wiwitan Kamulyan memberi isyarat: keseimbangan antara lahir dan batin, antara peran manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk spiritual.
Menerapkan prinsip sekala-niskala bukan berarti kita menolak kemajuan. Tapi mungkinkah kita menyambungkan cara berpikir lama yang membumi, dengan sistem modern yang cenderung linier?
Gotong royong, sesaji, slametan, tirakat—semuanya bukan sekadar simbol. Mereka adalah bentuk konkret dari ritus kepercayaan sosial yang pernah menyatukan masyarakat. Kini, bentuknya boleh berubah, tapi rohnya mungkin tetap relevan: hubungan antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan dimensi batiniah.
Dalam dunia yang diukur dengan angka, kita sering sulit membicarakan hal-hal yang “tidak bisa dibuktikan.” Tapi apa salahnya memberi ruang bagi intuisi, ritual, atau bahkan diam—sebagai bagian dari pembangunan sosial?
Mungkin kita perlu bertanya ulang: haruskah semua hal diukur untuk dianggap penting?
Bisa jadi, kepercayaan justru tumbuh dalam ruang yang tidak bising, yang tidak serba terukur, tapi dirawat secara terus-menerus melalui perasaan aman, penghormatan, dan keseimbangan. Bukan lewat debat publik, tapi lewat tindakan kecil yang jujur dan konsisten.
Membangun infrastruktur kepercayaan adalah pekerjaan yang tidak selesai dalam satu generasi. Tapi mungkin, tugas kita saat ini bukan menjawab semua persoalan—melainkan memunculkan pertanyaan yang tepat.
Filosofi Wiwitan Kamulyan Sekala Niskala tidak memberi jawaban instan. Ia hanya memberi arah: bahwa dalam kehidupan yang sehat, yang tampak dan yang tak tampak harus seimbang. Dan mungkin, saat kita mulai menyusun kembali kepercayaan dari dua dunia itu—sekala dan niskala—kita sedang memulihkan sesuatu yang telah lama hilang.
“Apa yang tidak tampak belum tentu tidak ada. Dan yang tampak belum tentu utuh.”
17 Jul 2025 01:08
13 Jul 2025 07:10
09 Jul 2025 00:50
08 Jul 2025 01:16
01 Jul 2025 03:21
15 Jun 2025 01:15
13 Jun 2025 10:20