Wiwitan Kamulyan Sekala Niskala: Membangun Desa dari Ranah Lahir dan Batin

Card image cap

Pengantar

"Wiwitan Kamulyan" secara harfiah berarti awal dari kemuliaan atau keberkahan, sedangkan "sekala niskala" adalah konsep dualitas antara hal yang tampak (sekala) dan tak tampak (niskala), banyak dijumpai dalam pandangan hidup masyarakat tradisional, terutama di Nusantara. Di sebuah desa atau dusun, konsep ini tidak hanya menyentuh spiritualitas, tetapi juga menjadi dasar filosofi pembangunan dan kehidupan masyarakat secara utuh: politik, sosial, budaya, hingga ekonomi.


1. Politik: Kepemimpinan Berbasis Nilai dan Spiritualitas

Dalam konteks politik desa, wiwitan kamulyan menjadi prinsip dasar dalam memilih dan menjalankan kepemimpinan. Pemimpin yang dipilih bukan hanya berdasarkan kemampuan administratif atau latar belakang pendidikan, tetapi juga pada sejauh mana ia bisa menjaga keseimbangan antara sekala (tugas lahiriah: pelayanan, kebijakan) dan niskala (nilai-nilai moral, spiritual, dan kesadaran kolektif).

Pemimpin desa yang memahami nilai ini cenderung lebih rendah hati, adil, dan mendengarkan warganya. Musyawarah desa bukan hanya ajang diskusi rasional, tetapi juga diiringi doa atau upacara adat sebagai simbol bahwa keputusan yang diambil tidak hanya bersandar pada logika, tetapi juga berkah dari yang tak kasat mata.


2. Sosial: Harmoni Antarwarga dan Kesadaran Kolektif

Secara sosial, wiwitan kamulyan sekala niskala mendorong masyarakat untuk hidup rukun dan saling menghargai. Gotong royong bukan sekadar tradisi, tetapi wujud nyata dari energi kolektif yang diyakini akan mendatangkan keberkahan jika dilakukan dengan tulus.

Perayaan hari besar, kegiatan kebersihan lingkungan, hingga bantuan kepada warga yang sedang kesusahan sering kali diiringi dengan niat yang "niskala" — seperti mengharap keseimbangan energi desa agar terhindar dari bencana atau disharmoni. Konsep ini memperkuat solidaritas dan kesadaran bahwa desa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang suci bersama.


3. Budaya: Pelestarian Adat sebagai Bentuk Kesadaran Spiritual

Dari sisi budaya, wiwitan kamulyan menjadi napas utama dalam pelestarian tradisi. Upacara adat seperti sedekah bumi, ruwatan, atau bersih desa dilihat sebagai momentum untuk menyucikan desa, menyelaraskan unsur alam, dan memperbarui hubungan manusia dengan leluhur dan Sang Pencipta.

Seni tradisi seperti tari, tembang, dan wayang dihidupkan tidak hanya sebagai hiburan, tapi sarana komunikasi spiritual dan pendidikan nilai-nilai. Di balik gerak dan syair, tersembunyi pesan moral dan energi niskala yang diyakini menuntun desa pada kehidupan yang seimbang dan penuh berkah.


4. Ekonomi: Pembangunan Berbasis Keseimbangan dan Kearifan Lokal

Ekonomi desa yang dibangun dengan semangat wiwitan kamulyan tidak sekadar mengejar pertumbuhan, tetapi juga keberlanjutan dan keberkahan. Praktik pertanian tradisional misalnya, tidak hanya memperhatikan hasil panen (sekala), tapi juga memperhatikan harmoni dengan tanah dan siklus alam (niskala).

Pasar desa bukan sekadar tempat jual beli, tetapi juga ruang interaksi budaya dan spiritual, di mana transaksi dibuka dan ditutup dengan doa, dan produk-produk lokal memiliki nilai lebih karena mengandung unsur kearifan lokal.

Pembangunan ekonomi di desa yang berbasis sekala niskala juga mendorong partisipasi masyarakat, menghindari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dan membuka peluang usaha yang selaras dengan adat dan lingkungan.


Penutup

Wiwitan kamulyan sekala niskala bukan sekadar konsep mistis atau spiritual. Ia adalah filosofi hidup yang jika diimplementasikan dengan bijak, mampu menjadikan desa bukan hanya tempat tinggal, tapi ruang harmoni antara manusia, alam, dan yang Ilahi. Dalam dunia yang semakin modern dan rasional, nilai-nilai ini bisa menjadi penyeimbang agar pembangunan tidak kehilangan arah dan makna.

Desa yang membangun dari wiwitan kamulyan akan melahirkan masyarakat yang kuat secara spiritual, adil secara sosial, kaya secara budaya, dan mandiri secara ekonomi.